![Pdf tafsir al quran per kata maghfirah husen bolton Pdf tafsir al quran per kata maghfirah husen bolton](/uploads/1/2/5/4/125465869/728444772.jpg)
Terjemah dalam pengertian urfi terbagi dua, yaitu: Pertama, Terjemah Harfiah ialah tarjamah yang dalam pengungkapan makna terlalu terikat dengan suasana kata perkata yang ada pada bahasa pertama dan makna-makna yang terungkap hanya berupa makna kosa kata. Dalam prakteknya penerjemah harfiah menyoroti kata perkata yang ada, lalu memahaminya satu persatu, kemudian ia berikan makna-maknanya dalam bahasa terjemah sesuatu dengan perimbangan kata, walaupun makna yang dikehendaki ternyata menyimpang dari “pesan” bahasa pertama, mengingat adanya perbedaan-perbedaan dalam langgam bahasa. Kedua, Terjemah Tafsiriyah ialah terjemah yang dalam mengungkapkan makna tidak terikat dengan susunan kata per kata yang ada dalam bahasa pertama, tetapi yang penting ialah bagaimana mengungkapkan makna-makna yang dikehedaki dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu terjemah ini disebut pula “Terjemah Ma’nawiyah.” Ia disebut Terjemah Tafsiriyah, karena dalam pengambaran atau pengungkapan makna-makna yang dikehendaki itu menjadikannya serupa dengan tafsir, walaupun sebenarnya ia bukan tafsir. Dalam prakteknya, penerjemah tafsiriyah berusaha menangkap makna atau pengertian yang dituju oleh ungkapan-ungkapan kalimat bahasa pertama, kemudian pengertian itu ia tuangkan ke dalam bahasa terjemah, sesuai maksud penuturnya, tanpa memaksakan diri untuk mencari makna kata per kata yang ada dalam bahasa pertama. Terjadi perbedaan penafsiran Al-Qur’an yang menimbulkan berbagai corak tafsir karena pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Sebab Allah sendiri tidak menghendaki manusia seluruhnya ini berada dibwah panji-panji din al-Islam. Hal ini telah nyata ditetapkan dalam al-Qur'an Surat Yunus ayat 99, Hud 118 dan al-Nahl ayat 93. Disinilah dibedakan antara perintah dan kehendak. Seluruh manusia diperintahkan Allah beriman, tetapi tidak semua dikehendaki untuk beriman. Indonesian Idf - Ebook download as Text File (.txt), PDF File (.pdf) or read book online. Kata 3.6698 saya 3.481 orang 3.5285. Per 4.7713 sebesar 4.6336 ii 4.7376. 8.1074 alquran 8.2161 ditata 8.1074.
Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Qur’an, yang keadaannya seperti dikatakan oleh ‘Abdullah Darraz dalam Al-Naba’ Al-Azhim:“Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”. Oleh karena itu menurut kesimpulan dan hemat saya, gambaran Mufassir Al-Qur’an dewasa ini bukanlah berwujud pribadi atau perorangan, tetapi seharusnya berwujud kolektifitas atau suatu lembaga yang bergerak dalam usaha memahami dan menjelaskan kandungan Al-Qur’an. Tegasnya, Mufassir Al-Qur’an ialah Mufassir kolektif, yang dalam kolektifitas itu terdiri dari berbagai spesialis dan disiplin ilmu pengetahuan, yang masing-masing telah menguasai unsur-unsur pokok ilmu tafsir ( ilmu dasar mengenai penafsiran Al-Qur’an). Penafsiran ilmiah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama berlangsung. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun (w.
1059-1111 M) yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur’anmengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa: “Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Qur’an Al-Karim. Hal ini, menurut Al-Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af’al(perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-Sifat-Nya. Sedangkan Al-Qur’an menjelaskan tentang Zat, af’al dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Qur’an terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya.
![Husen Husen](/uploads/1/2/5/4/125465869/537519569.jpg)
Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, “Apabila aku sakit maka Dialah yang mengobatiku” (QS 26: 80). “Obat” dan “penyakit”, menurut Al-Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.
Ayat-ayat semacam inilah yang mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuan-ilmuan islam dalam berbagai disiplin ilmu. “Tiada yang lebih baik dituntut dari suatu kitab akidah (agama) menyangkut bidang ilmu kecuali anjuran untuk berfikir, serta tidak menetapkan suatu ketetapan yang menghalangi umatnya untuk menggunakan akalnya atau membatasinya menambah pengetahuan selama dan di mana saja ia kehendaki.” Inilah korelasi pertama dan utama antara Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Konteks ayat-ayat, memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi. Di samping memperhatikan konteks ayat dari segi kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan satu cabang ilmu pengetahuan- bahkan semua ayat yang berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin ilmu- hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu’iy, yaitu dengan jalan menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas masalah yang sama, kemudian merangkaikan satu dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang pandangan atau pendapat Al-Qur’an tentang masalah yang dibahas itu. Sifat Penemuan Ilmiah, seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang dipegaruhi oleh banyak faktor, antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamanya.
Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap redaksi Al-Qur’an dapat berbeda-beda. Namun perlu kiranya digarisbawahi bahwa apa yang dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat bervariasi dari segi kebenarannya. Nah, bertitik tolak dari prinsip “larangan menafsirkan Al-Qur’an secara spekulatif”, maka penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an.